Monday, July 29, 2013
Larangan Bicara Tanpa Ilmu
Allah (سبحانه وتعالى) berfirman,
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ
وَهَٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ
يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh
lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung,” (An-Nahl: 116).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ( رضي الله عنه ) Rasulullah (ﷺ) bersabda,
“Barangsiapa diberi fatwa tanpa ilmu maka dosanya adalah atas orang
yang memberi fatwa tersebut. Barangsiapa menganjurkan satu perkara
kepada saudaranya seagama sementara ia tahu bahwa ada perkara lain yang
lebih baik berarti ia telah mengkhianatinya.”
(Hasan, HR Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (59), Abu Dawud (3657),
Ibnu Majah (53), Ahmad (321 dan 365), ad-Darimi (1/57), al-Hakim
(1/102-103), al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiib wal Mutafaqqih
(11/155)).
Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Rabbah berkata,
“Aku mendengar Ibnu ’Abbas ( رضي الله عنه ) menceritakan tentang
seorang laki-laki di zaman Nabi (ﷺ) yang terluka pada bagian kepalanya,
kemudian malamnya ia mimpi basah. Lalu ia disuruh mandi. Maka ia pun
mandi. Selesai mandi tubuhnya kejang-kejang lalu mati. Sampailah
beritanya kepada Rasulullah (ﷺ), maka beliau bersabda, ‘Mereka telah
membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka. Bukankah bertanya
merupakan obat kebodohan’?”
(Shahih, HR Ibnu Majah (572), ad-Daraquthni (1/190/4), al-Hakim
(1/178), ath-Thabrani (11472), Abu Nu’aim dalam al-Hilyab
(111/317-318)).
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud ( رضي الله عنه ) berkata,
“Bagi yang tahu hendaklah mengatakan apa yang ia ketahui. Dan bagi yang
tidak tahu hendaklah mengatakan, Allaahu a’lam. Sebab termasuk ilmu
adalah mengatakan, ‘Aku tidak tahu’ dalam perkara yang tidak ia ketahui
ilmunya.” Sebab Allah (سبحانه وتعالى) berfirman kepada Nabi-Nya,
“Katakanlah (hai Muhammad), (Aku tidak meminta upab sedikitpun ke-padamu
atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang
mengada-adakan,” (Shaad: 86).
Kandungan Bab:
1. Seorang mufti berbicara atas nama Allah, maka hendaklah ia berhati-hati agar tidak berbicara tentang Allah tanpa ilmu.
Oleh sebab itu Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab I’laamul
Muwaqqi’iin ’an Rabbil ’Aalamiin (1/7-8), “Apabila kedudukan sebagai
juru bicara raja merupakan kedudukan yang sangat terhormat, semua orang
tahu kemuliaannya dan merupakan kedudukan yang paling tinggi, lalu
bagaimanakah pula kedudukan (sebagai) juru bicara Raja langit dan bumi
(سبحانه وتعالى)? Orang yang diangkat sebagai juru bicara Allah haruslah
mempersiapkan diri sebaik-baiknya, ia harus menyadari betapa agung
kedudukannya tersebut.
Janganlah dadanya merasa berat untuk mengatakan kebenaran dan
menyatakannya. Karena sesungguhnya Allah menolongnya dan menunjukinya.
Bagaimana tidak, itulah kedudukan yang Allah sendirilah yang
menanganinya, Dia berfirman, “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang
para wanita. Katakanlah, ’Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka,
dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Qur’an’,” (An-Nisaa’: 127).
Cukuplah sebagai bukti kehormatan dan kemuliaan tugas tersebut bahwa
Allah (سبحانه وتعالى) sendirilah yang menanganinya. Allah (سبحانه
وتعالى) berfirman, “Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah,
Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah’,” (An-Nisaa’:
176).
Hendaklah seorang mufti mengetahui siapakah yang ia wakili dalam
fatwanya. Dan hendaklah ia sadari bahwa ia akan dimintai
pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah (سبحانه وتعالى).
Oleh sebab itu para ulama Salaf sangat takut mengeluarkan fatwa.
Mereka sadar betul kedudukannya serta bahayanya bila memang tidak mampu.
Mereka tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan dan tidak mau
mengeluarkan fatwa hingga mereka anggap sudah layak untuk berfatwa.
Namun mereka lebih suka dilepaskan dari tugas tersebut.
Diriwayatkan dari ’Abdurrahman bin Abi Laila berkata,
“Aku telah bertemu dengan seratus dua puluh orang sahabat Nabi dari
kalangan Anshar, tidaklah salah seorang dari mereka ditanya tentang
suatu masalah melainkan ia berharap temannya yang lainlah yang
menjawabnya,”
(HR Ad-Daarimi (53), Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqaat (VI/110), Ibnul
Mubarak dalam az-Zuhd (58), al-Fasawi dalam kitab al-Ma’rifah wat
Taariikh (II/817-818)).
2. Oleh karena itu hendaklah orang-orang jahil menjauhi kedudukan ini,
khususnya dari kalangan fuqaha dan orang-orang yang mengaku berilmu,
namun sebenarnya tidak punya ilmu; yang cepat sekali mengeluarkan fatwa
karena takut dibilang bodoh atau karena ingin mendapat perhatian dalam
majelis.
3. Ketahuilah wahai hamba Allah, mengeluarkan fatwa berarti
engkau telah berbicara atas nama Allah tentang perintah dan larangan-Nya.
Dan engkau akan ditanya dan dimintai pertanggungjawabannya. Oleh sebab
itu, bila engkau ditanya tentang suatu masalah maka jangan pikirkan
keselamatan si penanya, namun pikirkanlah dulu keselamatan dirimu. Jika
engkau mampu menjawabnya, maka jawablah! Jika tidak mampu, maka lebih
baik diam. Sebab, menahan diri dalam kondisi seperti itu lebih selamat,
lebih bijaksana dan lebih menunjukkan kedalaman ilmumu!
Wahai para mufti, periksalah benar-benar fatwa yang engkau keluarkan.
Engkau telah membawa dirimu kepada perkara yang sangat berbahaya,
janganlah engkau keluarkan fatwa kecuali bila keadaan sangat darurat.
Suatu hari, al-Qasim bin Muhammad pernah ditanya lalu ia menjawab,
“Allahu a’lam.” Kemudian ia berkata, “Demi Allah, lebih bagus seseorang
itu hidup jahil, setelah mengetahui hak-hak Allah atas dirinya, daripada
mengatakan apa yang tidak ia ketahui,” (Shahih, HR ad-Darimi (1/48),
Abu Khaitsamah dalam kitab al’llmu (90), al-Khathib al-Baghdadi dalam
al-Faqiih wal Mutafaqaih (11/173), dan al-Fasawi dalam kitab al-Ma’rifab
Taariikb (1/546-547)).
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy
Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi
Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari
(Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 1/234-238.
http://alislamu.com/index.php?Itemid=67&id=1253&option=com_content&task=view
Fatwa Syaikh Al-’Utsaimin rahimahullåh mengenai berfatwa tanpa ilmu
Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullåh ditanya:
“Ditemui adanya sebagian orang yang berfatwa tanpa (berdasarkan) ilmu. Bagaimana hukum hal tersebut?”
Beliau rahimahullâh menjawab:
Tindakan ini termasuk perkara yang paling berbahaya dan paling besar
dosanya. Allah ‘Azza wa Jalla mensejajarkan ucapan tentang Allah tanpa
ilmu dengan perbuatan syirik.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَا رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا
بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا
بِاللهِ مَا لَمْ يُنَجِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى
اللهِ
مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui.” (Al-A’râf: 33)
Hal ini menyangkut ucapan tentang Allah dalam masalah dzat-Nya,
sifat-sifat, perbuatan-perbuatan ataupun syari’at-Nya. Jadi tidak
seorang pun dihalalkan memfatwakan sesuatu sampai dia tahu bahwa hal
tersebut adalah syari’at Allah ‘Azza wa Jalla.
Maka ia harus memiliki kelengkapan (persiapan) dan kemampuan sehingga
dengan hal itu ia dapat mengetahui apa-apa yang ditunjukkan oleh
berbagai dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam. Tatkala itulah ia (boleh) berfatwa.
Seorang mufti (orang yang berfatwa) adalah orang yang berbicara
tentang Allah ‘Azza wa Jalla dan orang yang menyampaikan tentang
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Maka jika ia mengucapkan suatu
perkataan, sedangkan ia tidak mengetahui atau kurang meyakininya,
setelah ia mentelaah, berusaha keras dan memikirkan dalil-dalilnya, bisa
jadi orang ini telah mengucapkan tentang Allah dan Rasul-Nya tanpa
ilmu. Ia harus bersiap-siap untuk memperoleh hukuman dari Allah.
Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ
بِالْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُ . أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى
لِلْكَكَافِرِينَ
“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang
mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak
tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam
itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir?” (Al-‘Ankabût: 68)
Syaikh Al-Utsaimin ditanya:
“Banyak orang yang berani berfatwa sampai anak kecil pun bisa berfatwa. Lalu bagaimana komentar Anda?”
Beliau rahimahullâh menjawab:
Kaum salaf dahulu mereka saling dorong-dorongan (saling menolak)
untuk mengeluarkan fatwa lantaran besarnya perkara ini, besarnya
tanggung jawab dan lantaran takut mengucapkan tentang Allah tanpa ilmu.
Karena mufti (orang yang berfatwa) adalah orang yang menyampaikan
tentang Allah dan menjelaskan syari’at-Nya. Jika ia berbicara tentang
Allah tanpa ilmu, maka dia akan terjerumus ke dalam perkara yang
merupakan saudara kandung dari perbuatan syirik.
Simaklah firman Allah Subhânahu wa Ta’âlâ,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَا رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا
بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا
بِاللهِ مَا لَمْ يُنَجِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ
مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui.” (Al-A’râf: 33)
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mensejajarkan berkata tentang-Nya tanpa
ilmu dengan perbuatan syirik. Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman,
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ . إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isrâ’: 36)
Seseorang seyogyanya tidak terburu-buru dalam berfatwa. Bahkan (yang
seharusnya) ia harus menunggu dan menimbang (baik buruknya) serta
mengkaji ulang (masalah yang difatwakan). Jika waktunya sempit maka ia
bisa melimpahkan masalah tersebut kepada orang yang lebih mengetahui
(berilmu) sehingga ia selamat dari berbicara tentang Allah tanpa ilmu.
Jika Allah mengetahui keikhlasan niatnya dan kehendaknya yang baik,
maka ia akan sampai pada kedudukan yang ia inginkan dengan fatwa
tersebut. Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, maka Dia ‘Azza wa Jalla
akan memberikan taufiq kepadanya dan meninggikannya.
Orang yang berfatwa tanpa ilmu lebih sesat dibandingkan orang jahil
(bodoh). Orang yang bodoh akan menyatakan, “Saya tidak tahu.” Ia
mengetahui kapasitas dirinya, ia berpedoman pada kejujuran.
Adapun orang yang mensejajarkan dirinya dengan para alim ulama (lebih
dari itu) bahkan menganggap dirinya lebih utama dari mereka, maka ia
akan sesat dan menyesatkan. Ia akan berbuat kekeliruan dalam
masalah-masalah yang bisa diketahui kekeliruannya oleh penuntut ilmu
yang masih yunior sekalipun. Tindakan ini besar sekali kejelekannya dan
besar pula bahayanya.
Syaikh Al-‘Utsaimin ditanya: “Tatkala terluncur suatu pertanyaan yang
berhubungan dengan syari’at agama, orang-orang awam saling berlomba,
contohnya bila mereka berada di suatu majelis, untuk berfatwa dalam
masalah tersebut tanpa dilandasi dengan ilmu. Apa komentar Anda terhadap
fenomena ini, apakah tindakan tersebut termasuk mendahului Allah dan
Rasul-Nya?”
Beliau rahimahullâh menjawab:
Sudah dimaklumi bahwa seseorang tidak diperkenankan bicara tentang
agama Allah tanpa ilmu, berdasarkan perintah Allah dalam firman-Nya,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَا رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا
بَطَنَ وَالإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا
بِاللهِ مَا لَمْ يُنَجِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ
مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui.” (Al-A’râf: 33)
Setiap orang wajib menjauhkan diri dan merasa takut mengatakan
tentang Allah tanpa ilmu, sebab hal tersebut bukan termasuk perkara
duniawi yang akal bisa berperan di dalamnya. Jika perkara itu adalah
perkara duniawi yang akal bisa berperan di dalamnya, seseorang
sepatutnya menunggu (tidak tergesa-gesa) dan hendaknya memikirkan
(terlebih dahulu).
Boleh jadi jawaban yang tersimpan dalam jiwanya akan dijawab oleh
orang selainnya sehingga ia seperti layaknya seorang hakim (pembuat
keputusan) di antara sekian orang yang menjawab (pertanyaan yang
terlontar) sehingga ucapannya adalah ucapan terakhir yang (paling)
menentukan. Betapa banyak apa yang diperbincangkan oleh manusia dengan
berbagai pandangan mereka -yang saya maksudkan adalah bukan
masalah-masalah yang berkenaan dengan syari’at.
Apabila seseorang bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa maka akan
tampaklah kebenaran padanya, karena banyaknya pandangan mereka, yang
(pandangan-pandangan itu) tidak terlintas di benaknya sebelum itu.
Oleh karena itu saya nasehatkan kepada semua untuk tidak tergesa-gesa
dan hendaknya ia menjadi manusia terakhir angkat bicara, agar dia bisa
menjadi hakim (pemberi keputusan) di antara pendapat-pendapat yang ada.
Karena akan nampak padanya berbagai pandangan yang berbeda yang belum
jelas baginya sebelum ia mendengarkan pendapat-pendapat tersebut. Ini
dalam hubungannya dengan urusan dunia, adapun masalah agama, tidak
diperbolehkan sama sekali berbicara, kecuali dengan ilmu yang telah ia
ketahui dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya atau ucapan-ucapan para
ulama.
[Dinukil dari كتاب العلم (Tuntunan Ulama Salaf dalam Menuntut Ilmu
Syar’i) karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 181-182,
193-194, 204-205, penerjemah: Abu ‘Abdillah Salim bin Subaid, penerbit:
Pustaka Sumayyah]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment