Sekadar renungan


Bila Allah cepat makbulkan Doamu, Maka DIA Menyayangimu,

Bila DIA Lambat Makbulkan doamu, Maka DIA Ingin Mengujimu,

Bila DIA Tidak Makbulkan Doamu, Maka Dia Merancang Sesuatu Yang lebih Baik Untukmu.

Oleh itu, Sentiasalah Bersangka Baik Pada ALLAH Dalam Apa Jua Keadaan Pun... Kerana Kasih sayang ALLAH Itu Mendahului KemurkaanNya.

********************************************************

Saat itu, hadir syaitan yang terkuat, sementara si hamba dalam kondisi paling lemah. Siapakah yang selamat?


Ya Allah, jadikanlah amal terbaik kami sebagai penutup amal kami. Jadikanlah umur terbaik kami sebagai akhirnya. Dan jadikanlah hari terbaik kami sebagai hari kami menjumpai-Mu
.


Sabda Nabi s.a.w ;"...dan sesungguhnya waktu yang paling syaitan dengan manusia adalah disaat kematian (nazak) ","(Riwayat Abu Na'im)" didalam sepotong ayat Mursyal , Nabi s.a.w bersabda dengan membawa maksud ," Saat paling hampir musuh Allah (syaitan) itu dengan manusia ialah dikala terbit rohnya".

ZIKIR HARIAN

HARI AHAD: Ya Hayyu Ya Qayyum ( 1000 X )
HARI ISNIN: La haula wala quwwata illa billa hil 'aliyyil 'a ziim ( 1000 X )
HARI SELASA: Allahumma salli 'ala 'abdika warasulika wanabiyyikal amiina wa'ala alihi wasahbihi wasallim ( 1000 X )
HARI RABU: Astagh firullahal 'a ziim ( 1000 X )
HARI KHAMIS: Subhanallahii 'a ziim , Subhanallahi wabihamdihi ( 1000 X )
HARI JUMAAT: Ya Allah ( 1000 X )
HARI SABTU: La ilaha illallah ( 1000 X )

Sedikit Ilmu untuk dikongsi bersama...



Imam Ja’far Ash-shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang membaca surat Ar-Rahman, dan ketika membaca kalimat ‘Fabiayyi âlâi Rabbikumâ tukadzdzibân’, ia mengucapkan: Lâ bisyay-in min âlâika Rabbî akdzibu (tidak ada satu pun nikmat-Mu, duhai Tuhanku, yang aku dustakan), jika saat membacanya itu pada malam hari kemudian ia mati, maka matinya seperti matinya orang yang syahid; jika membacanya di siang hari kemudian mati, maka matinya seperti matinya orang yang syahid.” (Tsawabul A’mal, hlm 117).

Bacaan Surah

.

Followers

Blog ini mengandungi Maklumat dan Koleksi ibadah untuk diri saya . Sekiranya ia baik , kita kongsi bersama , sekiranya ianya tidak baik , elakkanlah. Saya hanya insan biasa yang mencari ilmu selagi hayat dikandung badan...

.

Tuesday, September 21, 2010

PERBEDAAN ANTARA ZIARAH KUBUR AHLI TAUHID DAN ORANG-ORANG MUSYRIK


Alangkah bahagia dan bertuah , apabila kubur kita sentiasa menerima kunjungan dari insan-insan yang kita kasihi.....


Adapun maksud ziarah kubur ahli tauhid adalah tiga hal:

Pertama, untuk mengingat mati, mengambil i'tibar dan pelajaran.

Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengisyaratkan hal tersebut dalam

sabdanya,

"Lakukanlah ziarah kubur, karena ia akan mengingatkanmu pada hari akhirat."

Kedua, berbuat baik kepada si mayit dan agar hal itu tidak terlalu lama masanya, sehingga ia ditinggalkan dan dilupakan. Sebagaimana bila seseorang meninggalkan berziarah kepada orang yang masih hidup dalam masa yang lama, niscaya hal itu membuatnya lupa. Jika ia berziarah kepada orang yang hidup, tentu orang yang diziarahinya akan senang dan bersuka cita dengan ziarahnya, maka lebih-lebih yang diziarahi itu orang yang telah mati, ia akan sangat bersuka cita. Sebab ia telah berada di tempat yang ditinggalkan oleh keluarga, saudara dan handai taulannya. Karena itu, jika ia berziarah kepadanya dan memberinya suatu hadiah berupa doa, shadaqah atau suatu qurbah (pendekatan diri) kepada Allah, maka bertambah-tambahlah kebahagiaan dan suka citanya, sebagaimana orang hidup berbahagia dan senang dengan orang yang menziarahinya dan memberinya hadiah.

Karena itu Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mensyariatkan kepada orang-orang yang berziarah agar berdoa untuk ahli kubur dengan memohon ampunan, rahmat dan kesentosaan bagi mereka.(1) Tetapi beliau tidak mensyariatkan agar berdoa kepada para ahli kubur, atau menjadikan mereka sebagai perantara dalam berdoa, juga agar tidak shalat di sisi mereka.

Ketiga, berbuat baik kepada diri sendiri dengan mengikuti Sunnah dalam berziarah, serta menetapi apa yang disyariatkan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di dalamnya, (2) sehingga berarti ia berbuat baik kepada dirinya sendiri dan kepada orang yang ia ziarahi.

Adapun ziarah orang-orang musyrik maka ia berasal dari para penyembah berhala. Mereka berkata, "Mayit yang diagungkan, yang ruhnya memiliki kedekatan, kedudukan dan keistimewaan di sisi Allah, masih saja diberi nikmat oleh Allah, ruhnya dilimpahi-Nya berbagai kebajikan. Karena itu, jika si peziarah menggantungkan dan mendekat-kan ruhnya dengan ruh si mayit tersebut, maka akan mengimbaslah nikmat itu melalui ruh si mayit tersebut. Sebagaimana cermin yang bersih dan air yang jernih memantulkan bayangan tubuh yang berada di hadapannya."

Karena itu mereka berkata, "Ziarah yang sempurna yaitu peziarah harus menghadapkan segenap ruh dan hatinya kepada si mayit, mengkonsentrasikan diri kepadanya sepenuhnya, menetapkan niat dan segenap tujuannya kepadanya, dengan tidak berpaling sedikit pun kepada selainnya, dan sebesar keinginan serta konsentrasi hati kepadanya, sebesar itu pula manfaat yang bakal diperolehnya!"

Ziarah semacam ini telah disebutkan oleh Ibnu Sina, Al-Farabi(3) dan lainnya. Dan secara terang-terangan dinyatakan pula oleh para penyembah bintang-bintang. Mereka mengatakan bahwa jika jiwa yang memohon bergantung dengan ruh-ruh yang tinggi, maka akan dicurahkanlah cahaya daripadanya. Dan karena rahasia ini pula sehingga bintang-bintang disembah, lalu dibuatkan haikal-haikal untuknya, dikarangkan bentuk-bentuk permohonan kepadanya, juga dibuatkan patung-patung visualnya. Dan karena alasan yang sama pulalah sehingga menjadikan para penyembah kuburan membuat perayaan-perayaan di kuburan, membuatkan tabir-tabir untuknya, menyalakan lampu-lampu serta mendirikan tempat ibadah di atasnya. Padahal itulah yang dituju Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam agar dihancurkan sama sekali, dan agar dipangkas segala yang mengakibatkan kepada hal-hal tersebut(4) Lalu orang-orang musyrik menghalangi jalannya dan menolak tujuannya. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berada di suatu pihak dan mereka berada di pihak lain.

Apa yang dilakukan orang-orang penyembah kuburan dalam ziarah kubur, hal yang sama itulah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, yakni meminta syafa'at yang mereka kira bahwa tuhan-tuhan mereka itu bermanfaat bisa memberi syafa'at kepada mereka di sisi Allah Ta'ala.

Mereka berkata, "Jika seorang hamba menggantungkan ruhnya dengan ruh. orang yang telah dekat di sisi Allah, ia betul-betul menghadap kepadanya dengan segenap konsentrasi dan ketenangan hatinya, niscaya akan terjadi kontak antara dia dengan dirinya, lalu ia akan men-dapat curahan dari bagian yang didapat orang tersebut dari Allah Ta'ala."

Mereka menyamakan hal itu dengan orang yang mengabdi kepada se-orang yang memiliki kedudukan dan pangkat dari kalangan penguasa.(5) Orang itu tentu sangat bergantung dengan tuannya. Dan apa yang didapatnya dari tuannya tersebut dari berbagai bentuk pemberian dan fasilitas adalah sesuai dengan seberapa kuat ketergantungan orang tersebut kepada tuannya.

Dan itulah rahasia penyembahan berhala-berhala. Lalu Allah mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya yang memerintahkan agar semua itu dihancurkan, agar para pengikutnya dikafirkan dan dilaknat, dihalalkan darah dan hartanya, dan ditawan para perempuan dan anak-anak mereka, serta mereka pasti dimasukkan ke dalam neraka.

Dan Al-Qur'an, sejak awal hingga akhirnya menolak para penyembah berhala dan membatalkan madzhab mereka.

Allah befirman,

"Bahkan mereka mengambil pemberi syafa'at selain Allah. Katakan-lah, 'Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatu Pun dan tidak berakal?' Katakanlah, 'Hanya kepunyaan Allah syafa'at itu semuanya. Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi'." (Az-Zumar. 43-44).

Allah mengabarkan bahwa syafa'at itu hanya miliki Dzat yang memiliki langit dan bumi, yaitu Allah semata. Dialah yang memberi syafa'at dengan Diri-Nya kepada Diri-Nya, sehingga Dia mengasihi hamba-Nya dan la memberi izin kepada orang yang dikehendaki-Nya untuk memberi syafa'at. Karena, pada hakikatnya syafa'at adalah milik-Nya, sedangkan orang yang memberi syafa'at di sisi-Nya adalah yang telah mendapatkan izin dan perintah dari-Nya, setelah la memberi syafa'at kepada Diri-Nya, yaitu kehendak dari Diri-Nya untuk mengasihi hamba-Nya.

Ini tentu berlawanan dengan syafa'at syirkiyah (yang mengandung syirik) yang ditetapkan oleh orang-orang musyrik dan mereka yang menyetujuinya. Syafa'at itulah yang dibatalkan Allah dalam Kitab-Nya, dengan firman-Nya,

"Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat suatu syafa'at kepadanya." (Al-Baqarah: 123).

"Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu, sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual-beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa'at." (Al-Baqarah: 254).

"Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada Hari Kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'at pun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa." (Al-An'am: 51).

"Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy. Tidak ada bagi kamu selain daripada-Nya seorang penolong pun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at." (As-Sajdah: 4).

Allah mengabarkan bahwa manusia tidak bisa memberikan syafa'at dari selain-Nya. Tetapi jika Allah menghendaki rahmat bagi hamba-Nya, maka Dia mengizinkan kepada orang yang memberinya syafa'at. Hal itu sebagaimana firman Allah,

"Tidak seorang pun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya." (Yunus: 3).

"Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya." (Al-Baqarah: 255).

Jadi, syafa'at itu diberikan dengan izin-Nya, dan syafa'at itu bukan dari selain-Nya, juga seorang yang memberi syafa'at tidak memberikannya dengan izin dari selain-Nya, tetapi ia memberi syafa'at dengan izin-Nya. Dan perbedaan antara dua orang yang memberi syafa'at itu adalah sama dengan perbedaan antara sekutu dan hamba yang diperintah.

Adapun syafa'at yang dibatalkan Allah adalah syafa'at sekutu, karena Allah tidak memiliki sekutu. Sedangkan syafa'at yang ditetapkan Allah adalah syafa'at hamba yang diperintah, yaitu yang tidak memberi syafa'at dan tidak lancang di hadapan Penguasa-Nya kecuali setelah Dia mengizinkannya seraya befirman, "Berilah syafa'at kepada si Fulan." Karena itu, orang yang paling berbahagia dengan syafa'at penghulu dari orang-orang yang memberi syafa'at pada Hari Kiamat adalah para ahli tauhid, yaitu mereka yang memurnikan tauhid dan membebaskannya dari ke-tergantungan terhadap syirik dan berbagai kotorannya, mereka itulah orang-orang yang diridhai Allah Ta'ala.

Allah befirman,

"Dan mereka tiada memberi syafa'at melainkan kepada orang yang diridhai Allah." (Al-Anbiya': 28).

"Pada hari itu tidak berguna syafa'at kecuali (syafa'at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya dan Dia telah meridhai perkataannya." (Thaha: 109).

Allah mengabarkan bahwa pada hari itu tidak akan ada syafa'at yang bermanfaat kecuali setelah Allah meridhai perkataan orang yang diberi syafa'at, dan setelah Allah memberikan izin kepada orang yang memberi syafa'at. Adapun orang musyrik, maka Allah tidak meridhainya, dan tidak meridhai perkataannya, karena itu Allah tidak mengizinkan kepada orang-orang untuk memberi syafa'at kepadanya, sebab Allah menggantungkan syafa'at tersebut dengan dua perkara; yakni keridhaan-Nya terhadap orang yang diberi syafa'at dan izin-Nya terhadap orang yang memberi syafa'at. Jika kedua hal tersebut tidak terkumpul, maka sya-fa'at itu tidak akan pernah terjadi.

Rahasia hal di atas adalah bahwa segala urusan adalah milik Allah semata, tidak seorang pun yang mengurusi suatu urusan bersama-Nya. Sedangkan makhluk yang paling tinggi, utama dan mulia di sisi-Nya adalah para rasul dan malaikat terdekat, dan mereka semua adalah ham-ba semata, mereka tidak mendahului perkataan-Nya, tidak pula lancang di hadapan-Nya. Mereka tidak melakukan sesuatu kecuali setelah men-dapatkan izin dan perintah-Nya. Apalagi pada hari yang sedikit pun seseorang tak lagi bisa menolong orang lain, sebab mereka adalah orang-orang yang dikuasai dan diatur, tindakan mereka terikat dengan perintah dan izin-Nya.

Maka, jika seorang musyrik menyekutukan mereka de-ngan-Nya, dan menjadikan mereka sebagai pemberi syafa'at selain Allah, dan ia mengira bahwa jika ia lakukan hal itu mereka akan memberi syafa'at di sisi Allah, maka dia adalah sebodoh-bodoh orang tentang hak Allah dan tentang apa yang wajib bagi-Nya serta apa yang tertolak di sisi-Nya. Sungguh hal semacam ini adalah sesuatu yang mustahil terjadi. Hal itu sama dengan menyerupakan Tuhan dengan para raja dan penguasa, di mana mereka mengangkat orang-orang yang loyal kepada mereka sehingga memberi syafa'at (sebagai perantara) terhadap berbagai keperluan rakyatnya. Dan dengan kias yang batil seperti inilah sehingga patung-patung disembah dan orang-orang musyrik menjadikan penolong dan wali selain Allah.

Dan perbedaan antara keduanya adalah perbedaan antara makhluk dengan Al-Khalik (Maha Pencipta), antara Rabb (Maha Pengatur) dengan marbub (yang diatur), antara tuan dengan hamba, antara raja dengan rakyat jelata, antara si kaya dengan si miskin dan antara Dzat yang sama sekali tidak membutuhkan kepada seseorang dengan orang yang membutuhkan kepada yang lain dalam segala hal.

Para pemberi syafa'at di kalangan makhluk adalah berarti sekutu-sekutu mereka. Sebab terwujudnya maslahat rakyat adalah karena mereka, sedang mereka (para pemberi syafa'at yang berarti para perantara) adalah para penolong dan pembantu mereka. Dan seandainya urusan para raja dan para penguasa itu tidak dibantu mereka tentu lidah dan tangan para penguasa dan raja itu tidak akan sampai kepada rakyat. Dan karena kebutuhan mereka kepada para pemberi syafa'at itu, sehingga mau tidak mau mereka harus menerima syafa'at tersebut, meskipun mereka tidak mengizinkan dan merelakan orang yang memberi syafa'at.

Adapun Dzat Yang Mahakaya, yang kekayaan merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari Dzat-Nya, dan semua yang selain-Nya membutuhkan kepada Dzat-Nya, dan bahwa semua yang ada di langit dan di bumi adalah hamba-Nya, dipaksa dengan kekuasaan-Nya dan diatur de-ngan kehendak-Nya. Bahkan seandainya Dia menghancurkan mereka semua, maka tidak berkurang sedikit pun keagungan, kekuasaan, kerajaan, Rububiyah dan Ilahiyah-Nya. Allah befirman,

"Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, 'Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryam.'Katakanlah, 'Maka siapa-kah (gerangan) yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al-Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?' Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (Al-Mai'dah: 17).

Dan dalam ayat Kursi, penghulu dari segenap ayat-ayat Al-Qur'an (sayyidah ayil Qur'an)'(6) Allah befirman,

"Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya." (Al-Baqarah: 255).

"Katakanlah, 'Hanya kepunyaan Allah syafa'at itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi'." (Az-Zumar: 44).

Allah mengabarkan, keadaan kerajaan-Nya di langit dan di bumi mewajibkan semua syafa'at itu milik-Nya semata, dan bahwa tak seorang pun memberi syafa'at kecuali dengan izin-Nya, tetapi ia bukanlah sekutu, ia hanyalah hamba semata, dan ini tentu berbeda dengan syafa'at sebagian manusia kepada sebagian yang lain.

Maka jelaslah, syafa'at yang dinafikan Allah di dalam Al-Qur'an adalah syafa'at yang mengandung syirik, yang telah diketahui manusia, dan yang mereka lakukan satu sama lain. Karena itu, jenis syafa'at ini ter-kadang ditiadakan secara mutlak, sebab ia telah diketahui umum, dan terkadang pula secara bersyarat, yakni ia tidak bermanfaat kecuali sete-lah mendapatkan izin-Nya.

Dan syafa'at ini pada hakikatnya adalah dari Diri-Nya, sebab Dia lah yang mengizinkan, yang menerima dan yang meridhai orang yang diberi syafa'at, juga yang memberi taufiq orang tersebut untuk melakukan perbuatan dan ucapan yang berhak mendapatkan syafa'at.

Jadi, orang yang mengambil pemberi syafa'at (selain Allah) adalah musyrik, syafa'atnya tidak berguna, dan ia tidak diberi syafa'at karena-nya. Adapun orang yang menjadikan Allah semata sebagai Tuhan, sesembahan, yang dicintai, yang diharapkan, yang ditakuti, yang hanya kepada-Nya ia mendekatkan diri, meminta ridha-Nya dan menjauhkan dari kemurkaan-Nya, maka orang seperti itulah yang Allah izinkan mendapatkan syafa'at dari orang yang memberi syafa'at.

Allah befirman,

"Bahkan mereka mengambil pemberi syafa'at selain Allah. Katakanlah, Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatu pun dan tidak berakal?'Katakanlah, 'Hanya kepunyaan Allah syafa'at itu semuanya'." (Az-Zumar: 43-44).

"Dan mereka menyembah selain Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata, 'Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami disisi Allah.'Katakanlah, 'Apakah kamu mengabarkan kepada Allah apa yang tidak diketahui-Nya, baik di langit dan tidak (pula) dibumi?' Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (itu)." (Yunus: 18).

Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang mengambil pemberi syafa'at (selain Allah) adalah musyrik, dan bahwa syafa'at itu tidak bisa didapatkan dengan mengambil mereka sebagai pemberi syafa'at, tetapi ia didapatkan dengan izin-Nya kepada orang yang memberi syafa'at, dan keridhaan-Nya kepada orang yang diberi syafa'at.

Barangsiapa yang diberi taufiq oleh Allah untuk memahami dan mengetahui tema ini, niscaya akan jelaslah baginya hakikat tauhid dan syirik, serta perbedaan antara syafa'at yang ditetapkan Allah dan yang dinafikan serta yang dibatalkan-Nya.

"Dan barangsiapa yang tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, maka tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun." (An-Nuur: 40).

Penulis: Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah,

Penerjemah: Ainul Haris Umar Arifin Thayib, Lc.;

Judul Asli: Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatul Lahfan fi

Mashayidisy Syaithan